Minggu, 18 Desember 2011

Review Jurnal 15


Nama Kelompok :
 Arya Faizal (21210150)
 Desy Dwi Jayanti ( 21210864)

 Dila Noviyanti (22210015)

 Dwi Manggala Septiawan (22210194)

 Jhon Philip.S (23210754)

 Lita Lestari (24210055)
 
KELAS : 2EB10

MANAJEMEN KOPERASI MENUJU KEWIRAUSAHAAN KOPERASI

Arman D. Hutasuhut
Abstrak. Koperasi merupakan salah satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang pantas untuk ditumbuhkembangkan sebagai
badan usaha penting dan bukan sebagai alternatif terakhir. Membentuk jiwa
kewirausahaan koperasi di dalam diri para pengurus dan anggotanya adalah upaya
awal untuk menuju keberhasilan gerakan koperasi di tanah air.
Kata Kunci: Koperasi, Manajemen Koperasi, Kewirausahaan Koperasi.Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Pendahuluan
Dalam usaha pemulihan krisis ekonomi Indonesia dewasa ini, sesungguhnya
koperasi mendapatkan peluang (opportunity) untuk tampil lebih eksis. Krisis ekonomi
yang diawali dengan krisis nilai tukar dan kemudian membawa krisis hutang luar
negeri, telah membuka mata semua pemerhati ekonomi bahwa "fundamental
ekonomi" yang semula diyakini kesahihannya, ternyata hancur lebur. Para pengusaha
besar konglomerat dan industri manufaktur yang selama ini diagung-agungkan
membawa pertumbuhan ekonomi yang pesat pada rata-rata 7% pertahun, ternyata
hanya merupakan wacana. Sebab, ternyata kebesaran mereka hanya ditopang oleh
hutang luar negeri sebagai hasil perkoncoan dan praktik mark-up ekuitas, dan tidak
karena variabel endogenous (yang tumbuh dari dalam) (Manurung, 2000).
Setelah dicanangkan oleh pendiri negara kita, bahwa koperasi merupakan
lembaga ekonomi yang cocok dengan spirit masyarakatnya, yaitu azas kekeluargaan.
Bahkan disebutkan oleh Hadhikusuma (2000). Kekeluargaan adalah azas yang
memang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia dan telah berurat akar
dalam jiwa bangsa Indonesia. Namun sampai saat ini dalam kenyataannya peran
koperasi untuk berkontribusi dalam perekonomian Indonesia belum mencapai taraf
signifikan. Banyaknya masalah yang menghambat perkembangan koperasi di
Indonesia menjadi problematik yang secara umum masih dihadapi.
Pencapaian misi mulia koperasi pada umumnya masih jauh dan idealisme
semula. Koperasi yang seharusnya mempunyai amanah luhur, yaitu membantu
pemerintah untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial, belum dapat menjalani
peranannya secara maksimal. Membangun koperasi menuju kepada peranan dan
kedudukannya yang diharapkan merupakan hai yang sangat sulit, walau bukan
merupakan hal yang tidak mungkin.
OIeh karena itu, tulisan ini tetap pada satu titik keyakinan, bahwa seburuk
apapun keadaan koperasi saat mi, kalau semua komponen bergerak bersama, tentunya
ada titik terang yang diharapkan muncul. Juga diharapkan mampu menjadi pencerahan
bagi kita semua, tentang bagaimana koperasi dikembalikan kepada cita-cita para
pendiri bangsa mi, menjadikan kegiatan ekonomi menjadi milik semua rakyat. Dengan
demikian, kesenjangan ekonomi yang merembet pada kesenjangan sosial dan
penyakitpenyakit masyarakat Iainnya dapat dikurangi (Nuhung, 2002).
Citra koperasi di masyarakat saat ini identik dengan badan usaha marginal,
yang hanya bisa hidup bila mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini sebenarnya
tidak sepenuhnya benar, karena banyak koperasi yang bisa menjalankan usahanya
tanpa bantuan pemerintah. Tantangan koperasi ke depan sebagai badan usaha adalah
harus mampu bersaing secara sehat sesuai etika dan norma bisnis yang berlaku .
Pendapat mengenai keberadaan unit usaha koperasi dalam sistem ekonomi
Indonesia, adalah: Pertama adalah yang mengutarakan perlunya mengkaji ulang
apakah koperasi masih perlu dipertahankan keberadaannya dalam kegiatan ekonomi.Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Secara implisit pendapat ini menghendaki agar kita tidak perlu mempertahankan
koperasi sebagai unit usaha ekonomi. Pendapat ini mewakili pemikiran kanan baru
(new-right) yang tidak begitu mempermasalahkan konsentrasi ekonomi di kalangan
segelintir orang dalam masyarakat dan tidak menghendaki adanya pertanda pandangan
populis di dalam masyarakat. Kedua, adalah pendapat yang memandang bahwa unit
usaha koperasi dipandang perlu untuk dipertahankan sekadar untuk tidak dianggap
menyeleweng dari UUD 1945.
Pendapat inilah yang selama ini hidup dalam pemikiran bara birokrat
pemerintahan. Ketiga, adalah pendapat yang menganggap bahwa koperasi sebagai
organisasi ekonomi rakyat yang harus dikembangkan menjadi unit usaha yang kukuh
dalam rangka proses demokratisasi ekonomi.
Pendapat ini mendasarkan pada semangat dan cita-cita kemerdekaan Indonesia
yang ingin mengubah hubungan dialektik ekonomi, dari dialektik kolonial pada jaman
penjajahan kepada dialektik hubungan ekonomi yang menjadikan rakyat sebagai
kekuatan ekonomi (Sritua, 1997).
Tantangan bagi dunia usaha, terutama pengembangan Usaha Kecil
Menengah , mencakup aspek yang luas, antara lain : peningkatan kualitas SDM
dalam hal kemampuan manajemen, organisasi dan teknologi, kompetensi
kewirausahaan, akses yang lebih luas terhadap permodalan, informasi pasar yang
transparan, faktor input produksi lainnya, dan iklim usaha yang sehat yang
mendukung inovasi, kewirausahaan dan praktek bisnis serta persaingan yang sehat
(Haeruman, 2000).
Pengertian Koperasi
Menurut Undang-undang No. 25/1992, koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang-perorangan atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasarkan asas kekeluargaan (Sitio dan Tamba, 2001). Koperasi sebagai
organisasi ekonomi yang berwatak sosial sebagai usaha bersama berdasar asas-asas
kekeluargaan dan gotong royong (Widiyanti, 94). Ropke menyatakan makna koperasi
dipandang dari sudut organisasi ekonomi adalah suatu organisasi bisnis yang para
pemilik/anggotanya adalah juga pelanggan utama perusahaan tersebut. Kriteria
identitas koperasi akan merupakan dalil/prinsip identitas yang membedakan unit usaha
koperasi dari unit usaha lainnya (Hendar dan Kusnadi, 1999).
Elemen yang terkandung dalam koperasi menurut International Labour
Organization (Sitio dan Tamba, 2001) adalah:
a. perkumpulan orang-orang,
b. penggabungan orang-orang tersebut berdasarkan kesukarelaan,
c. terdapat tujuan ekonomi yang ingin dicapai,Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
d. koperasi yang dibentuk adalah suatu organisasi bisnis (badan usaha) yang
diawasi dan dikendalikan secara demokratis,
e. terdapat kontribusi yang adil terhadap modal yang dibutuhkan,
f. anggota koperasi menerima resiko dan manfaat secara seimbang.
Prinsip-Prinsip Koperasi
Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi.
Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan perkoperasian
yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama Koperasi. Perkoperasian di
Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945, dan bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan
makmur (Koperindo.com, 2001 )
Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar Koperasi menurut UU No. 12 tahun 1967,
adalah sebagai berikut.
a.Sifat keanggotaannya sukarela dan terbuka untuk setiap warg negara Indonesia
b.Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi sebagai pencerminan demokrasi
dalam koperasi
c.Pembagian SHU diatur menurut jasa masing-masing anggota
d.Adanya pembatasan bunga atas modal
e.Mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya dan masya rakat pada
umumnya
f.Usaha dan ketatalaksanaannya bersifat terbuka
g.Swadaya, swakarta, dan swasembada sebagai pencerminan prinsip dasar percaya
pada diri sendiri
Menurut UU No. 25 Tahun 1992, prinsip-prinsip koperasi adalah sebagai
berikut:
Prinsip-prinsip koperasi adalah:
a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya
jasa usaha masing-masing anggota.
d. Pemberian balas jasa tidak terkait dengan besarnya setoran modal.
e. Kemandirian
f. Pendidikan koperasi
g. Kerja sama antar koperasi
Permasalahan Koperasi
Untuk mampu bertahan di era globalisasi tentunya koperasi harus instropeksiJurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
atas kondisi yang ada pada dirinya.. Tidak dapat dipungkiri bahwa hanya dengan
mengenal jati diri koperasi secara benar maka kemungkinan bersaing dengan badan
usaha lain akan terbuka. Jelas bahwa ditinjau dari sudut bentuk organisasinya, maka
organisasi koperasi adalah SHO (self-help organisasi).
Intinya koperasi adalah badan usaha yang otonom. Problemnya adalah
otonomi koperasi sejauh ini menjadi tanda tanya besar. Karena bantuan pemerintah
yang begitu besar menjadikan otonomi koperasi sulit terwujud. Dalam dataran
konsepsional otonomi Koperasijuga mengandung implikasi bahwa badan usaha
koperasi seharusnya lepas dari lembaga pemerintah, artinya organisasi koperasi bukan
merupakan lembaga yang dilihat dari fungsinyaadalah alat administrasi langsung dari
pemerintah, yang mewujudkan tujuan-tujuan yang telah diputuskan dan ditetapkan
oleh pemerintah (Rozi dan Hendri, 1997).
Masalah mutu sumberdaya manusia pada berbagai perangkat organisiasi
koperasi menjadi masalah yang menonjol dan mendapat sorotan. Subyakto (1996)
mempunyai pandangan bahwa, kendala yang sangat mendasar dalam pemberdayaan
koperasi dan usaha kecil adalah masalah sumberdaya manusia. Pengurus dan
karyawan secara bersama-sama -ataupun saling menggantikan- menjadi pelaku
organisasi yang aktif, dan menjadi front line staff dalam melayani anggota koperasi.
Keadaan saling menggantikan seperti itu, banyak terjadi dalam praktik
manajemen koperasi di Indonesia. Kinerja front line staff memiliki dampak terhadap
kepuasan pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan pengembangan koperasi, antara
lain adalah anggota sebagai pemilik dan pemanfaat, pemerintah sebagai pembina
serta pihak mitra bisnis yang berperan sebagai pemasok, distributor, produsen,
penyandang dana dan lain sebagainya.
Manajemen Koperasi
Koperasi merupakan lembaga yang harus dikelola sebagaimana layaknya lembaga
bisnis. Di dalam sebuah lembaga bisnis diperlukan sebuah pengelolaan yang efektif
dan efisien yang dikenal dengan manajemen. Demikian juga dalam badan usaha
koperasi, manajemen merupakan satu hak yang harus ada demi terwujudnya tujuan
yang diharapkan.
Prof. Ewell Paul Roy mengatakan bahwa manajemen koperasi melibatkan 4
(empat) unsur yaitu: anggota, pengurus, manajer, dan karyawan. Seorang manajer
harus bisa menciptakan kondisi yang mendorong para karyawan agar
mempertahankan produktivitas yang tinggi. Karyawan merupakan penghubung antara
manajemen dan anggota pelanggan (Hendrojogi, 1997).
Menurut Suharsono Sagir, sistem manajemen di lembaga koperasi harus
mengarah kepada manajemen partisipatif yang di dalamnya terdapat kebersamaan,
keterbukaan, sehingga setiap anggota koperasi baik yang turut dalam pengelolaan
(kepengurusan usaha) ataupun yang di luar kepengurusan (angota biasa), memilikiJurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
rasa tanggung jawab bersama dalam organisasi koperasi (Anoraga dan Widiyanti,
1992).
A.H. Gophar mengatakan bahwa manajemen koperasi pada dasarnya dapat
ditelaah dan tiga sudut pandang, yaitu organisasi, proses, dan gaya (Hendar dan
Kusnadi, 1999).
Dari sudut pandang organisasi, manajemen koperasi pada prinsipnya terbentuk dan
tiga unsur: anggota, pengurus, dan karyawan. Dapat dibedakan struktur atau alat
perlengkapan onganisasi yang sepintas adalah sama yaitu: Rapat Anggota, Pengurus,
dan Pengawas. Untuk itu, hendaknya dibedakan antara fungsi organisasi dengan
fungsi manajemen. Unsur Pengawas seperti yang terdapat pada alat perlengkapan
organisasi koperasi, pada hakekatnya adalah merupakan perpanjangan tangan dan
anggota, untuk mendampingi Pengurus dalam melakukan fungsi kontrol sehari-hari
terhadap jalannya roda organisasi dan usaha koperasi. Keberhasilan koperasi
tergantung pada kerjasama ketiga unsur organisasi tersebut dalam mengembangkan
organisasi dan usaha koperasi, yang dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada anggota.
Dan sudut pandang proses, manajemen koperasi lebih mengutamakan demokrasi
dalam pengambilan keputusan. Istilah satu orang satu suara (one man one vote) sudah
mendarah daging dalam organisasi koperasi. Karena itu, manajemen koperasi ini
sering dipandang kurang efisien, kurang efektif, dan sangat mahal.
Terakhir, ditinjau dan sudut pandang gaya manajemen (management style),
manajemen koperasi menganut gaya partisipatif (participation management), di mana
posisi anggota ditempatkan sebagai subjek dan manajemen yang aktif dalam
mengendalikan manajemen perusahaannya.
Sitio dan Tamba (2001) menyatakan badan usaha koperasi di Indonesia memiliki
manajemen koperasi yang dirunut berdasarkan perangkat organisasi koperasi, yaitu:
Rapat anggota, pengurus, pengawas, dan pengelola.
Telah diuraikan sebelumnya bahwa, watak manajemen koperasi ialah gaya
manajemen partisipatif. Pola umum manalemen koperasi yang partisipatif tersebut
menggambarkan adanya interaksi antar unsur manajemen koperasi. Terdapat
pembagian tugas (job description) pada masing-masing unsur. Demikian pula setiap
unsur manajemen mempunyai lingkup keputusan (decision area) yang berbeda,
kendatipun masih ada lingkup keputusan yang dilakukan secara bersama (shared
decision areas)
Adapun lingkup keputusan masing-masing unsur manajemen koperasi adalah
sebagai berikut (Sitio dan Tamba, 2001):
a.Rapat Anggota merupakan pemegang kuasa tertinggi dalam menetapkanJurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
kebijakan umum di bidang organisasi, manajemen, dan usaha koperasi.
Kebijakan yang sifatnya sangat strategis dirumuskan dan ditetapkan pada
forum Rapat Anggota. Umumnya, Rapat Anggota diselenggarakan sekali
setahun.
b.Pengurus dipilih dan diberhentikan oleh rapat anggota. Dengan demikian,
Pengurus dapat dikatakart sebagai pemegang kuasa Rapat Anggota dalam
mengoperasionalkan kebijakan-kebijakan strategis yang ditetapkan Rapat
Anggota. Penguruslah yang mewujudkan arah kebijakan strategis yang
menyangkut organisasi maupun usaha.
c.Pengawas mewakili anggota untuk melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan yang dilaksanakan oleh Pengurus. Pengawas dipilth
dan diberhentikan oleh Rapat Anggota. OIeh sebab itu, dalam struktur
organisasi koperasi, posisi Pengawas dan Pengurus adalah sama.
d.Pengelola adalah tim manajemen yang diangkat dan diberhentikan oleh
Pengurus, untuk melaksanakan teknis operasional di bidang usaha. Hubungan
Pengelola usaha (managing director) dengan pengurus koperasi adalah
hubungan kerja atas dasar perikatan dalam bentuk perjanjian atau kontrak
kerja.
Kewirausahaan Koperasi
Secara definitif seorang wirausaha termasuk wirausaha koperasi adalah orang
yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis,
mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan
darinya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses (Meredith, et al,
1984).
Para wirausaha koperasi adalah orang yang mempunyai sikap mental positif
yang berorientasi pada tindakan dan mempunyai motivasi tinggi dalam mengambil
risiko pada saat mengejar tujuannya. Tetapi mereka juga orang-orang yang cermat dan
penuh perhitungan dalam mengambil keputusan tentang sesuatu yang hendak
dikerjakan, Setiap mengambil keputusan tidak didasarkan pada metode coba-coba,
melainkan dipelajari setiap peluang bisnis dengan mengumpulkan informasi-informasi
yang berharga bagi keputusan yang hendak dibuat.
Selanjutnya menurut Meredith (1984) para wirausaha (termasuk wirausaha
koperasi) mempunyai ciri dan watak yang berlainan dengan individu kebanyakan.
Ciri-ciri dan watak tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Mempunyai kepercayaan yang kuat pada diri sendiri.
b. Berorientasi pada tugas dan basil yang didorong oleh kehutuhan untuk
herprestasi, berorientasi pada keuntungan, mempunyai ketekunan dan
ketabahan, mempunyni tekad kerja keras, dan mempunyai energi inisiatif.
c. Mempunyai kemampuan dalam mengambil risiko dan mengambil keputusan-Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
keputusan secara cepat dan cermat.
d. Mempunyai jiwa kepemimpinan, suka bergaul dan suka menanggapi saransaran dan kritik.
e. Berjiwa inovatif, kreatif dan tekun.
f. Berorientasi ke masa depan.
Kewirausahaan koperasi adalah suatu sikap mental positif dalam berusaha secara
koperatif dengan mengambil prakarsa inovatif serta keberanian mengambil risiko dan
berpegang teguh pada prinsip identitas koperasi dalam mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan nyata serta peningkatan kesejahteraan bersama (Hendar dan Kusnadi,
1999). Dan definisi tersebut terkandung beberapa unsur yang patut diperhatikan
seperti penjelasan di bawah ini.
Kewirausahaan koperasi merupakan sikap mental positif dalam berusaha secara
koperatif. Ini berarti wirausaha koperasi (orang yang melaksanakan kewirausahaan
koperasi) harus mempunyai keinginan untuk memajukan organisasi koperasi, baik itu
usaha koperasi maupun usaha anggotanya. Usaha itu harus dilakukan secara koperatif
dalam arti setiap kegiatan usaha koperasi harus mementingkan kebutuhan anggotanya.
Tugas utama wirausaha koperasi adalah mengambil prakarsa inovatif, artinya
berusaha mencari, menemukan dan memanfaatkan peluang yang ada demi
kepentingan bersama (Drucker, 1988). Bertindak inovatif tidak hanya dilakukan pada
saat memulai usaha tetapi juga pada saat usaha itu berjalan, bahkan pada saat usaha
koperasi berada dalam kemunduran. Pada saat memulai usaha agar koperasi dapat
tumbuh dengan cepat dan menghasilkan. Kemudian pada saat usaha koperasi berjalan,
agar koperasi paling tidak dapat mempertahankan eksistensi usaha koperasi yang
sudah berjalan dengan lancar. Perihal yang lehih penting adalah tindakan inovatif pada
saat usaha koperasi berada dalam kemunduran (stagnasi). Pada saat itu wirausaha
koperasi diperlukan agar koperasi berada pada siklus hidup yang baru.
Wirausaha koperasi harus mempunyai keberanian mengambil risiko. Karena
dunia penuh dengan ketidakpastian, sehingga hal-hal yang diharapkan kadang-kadang
tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu dalam
menghadapi situasi semacam itu diperlukan seorang wirausaha yang mempunyai
kemampuan mengambil risiko. Tentu saja pengambilan risiko ini dilakukan dengan
perhitungan-perhitungan yang cermat.
Pada koperasi risiko-risiko yang ditimbulkan oleh ketidakpastian sedikit
terkurangi oleh orientasi usahanya yang lebih banyak di pasar internal. Pasar internal
memungkinkan setiap usaha menjadi beban koperasi dan anggotanya karena koperasi
adalah milik anggota. Oleh karena itu secara nalar tidak mungkin anggota merugikan
koperasinya. Kalaupun terjadi kerugian dalam kegiatan operasional, maka risiko
tersebut akan ditanggung bersama-sama, sehingga risiko per anggota menjadi relatif
kecil.
Tetapi bila orientasi usaha koperasi lebih banyak ke pasar eksternal seperti KUD,Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
maka risiko yang ditimbulkan oleh ketidakpastian akan mempunyai bobot yang sama
dengan risiko yang dihadapi oleh pesaingnya. Dalam kondisi ini tugas wirausaha
koperasi lebih berat dibanding dengan wirausaha koperasi yang lehih banyak
orilentasinya di pasar internal.
Kegiatan wirausaha koperasi harus berpegang teguh pada prinsip identitas
koperasi, yaitu anggota sebagai pemilik dan, sekaligus sebagai pelanggan.
Kepentingan anggota harus diutamakan agar anggota mau berpartisipasi aktif terhadap
koperasi. Karena itu wirausaha koperasi bertugas meningkatkan pelayanan dengan
jalan menyediakan berbagai kebutuhan anggotanya.
Tujuan utama setiap wirausaha koperasi adalah memenuhi kebutuhan nyata
anggota koperasi dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Tugas seorang wirausaha
koperasi sebenamya cukup berat karena banyak pihak yang berkepentingan di
lingkungan koperasi, seperti anggota, perusahaan koperasi, karyawan, masyarakat di
sekitarnya, dan lain-lain. Seorang wirausaha koperasi terkadang dihadapkan pada
masalah konflik kepentingan di antara masing-masing pihak. Bila ia lebih
mementingkan usaha koperasi, otomatis ia harus berorientasi di pasar eksternal dan
hal ini berarti mengurangi nilai pelayanan terhadap anggota. Sebaliknya bila
orientasinya di pasar internal dengan mengutamakan kepentingan anggota, maka yang
menjadi korban adalah pertumbuhan koperasi.
Kewirausahaan dalam koperasi dapat dilakukan oleh anggota, manajer, birokrat
yang berperan dalam pembangunan koperasi dan katalis, yaitu orang yang peduli
terhadap pengembangan koperasi. Keempat jenis wirausaha koperasi ini tentunya
mempunyai kebebasan bertindak dan insentif yang berbeda-beda yang selanjutnya
menentukan tingkat efektivitas yang berbeda-beda pula.
Daftar Pustaka
Anoraga, Panji dan Widiyanti, Ninik. 1992. Dinamika Koperasi. Rineka Cipta,
Jakarta.
Arief, Sritua. 1997. Koperasi Sebagai Organisasi Ekonomi Rakyat, dalam
Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam
Arus Globalisasi. CSPM dan Zaman. Jakarta.
Drucker, Peter F. 1988. Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktek dan Dasar-Dasar.
Erlangga. Jakarta, dalam Hendar dan Kusnadi. 1999. Ekonomi Koperasi untuk
Perguruan Tinggi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Jakarta.
Haeruman, H. 2000. ”Peningkatan Daya Saing Industri Kecil untuk Mendukung
Program PEL”. Makalah Seminar Peningkatan Daya Saing. Graha Sucofindo.
JakartaJurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis”
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Hendar dan Kusnadi, 1999. Ekonomi Koperasi untuk Perguruan Tinggi, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Hendrojogi. 1997. Koperasi: Azas-azas, Teori dan Praktek.. RajaGrafindo. Jakarta.
Koperindo.com. http/www.Koperindo.com.
Manurung, 2000. “Perkoperasian Di Indonesia: Masalah, Peluang dan Tantangannya
di Masa Depan”. Economics e-Journal, 28 Januari 2000,
Meredith, 1984. Kewirausahaan, Teori dan Praktek, Pustaka Binaman Pressindo,
Jakarta, dalam Hendar dan Kusnadi, 1999. Ekonomi Koperasi untuk
Perguruan Tinggi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Rozi dan Hendri. 1997. Kapan dan Bilamana Berkoperasi. Unri Press. Riau.
Sitio, Arifin dan Tamba, Halomoan. 2001. Koperasi: Teori dan Praktek. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Subyakto, 1996. “Mutu Layanan dalam Perilaku Organisasi Koperasi”. http://
ln.doubleclick.net.
Widiyanti, Ninik, 1994. Manajemen Koperasi. Rineka Cipta. Jakarta.
Jakarta, 01 Oktober 2001
Oleh: Arman D. Hutasuhut -- men ManajeKoperasi Menuju Kewirausahaan Koperasi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.







REVIEW JURNAL

Koperasi merupakan salah satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang pantas untuk ditumbuhkembangkan sebagai
badan usaha penting dan bukan sebagai alternatif terakhir.
Dalam usaha pemulihan krisis ekonomi Indonesia dewasa ini, sesungguhnya
koperasi mendapatkan peluang (opportunity) untuk tampil lebih eksis. Krisis ekonomi
yang diawali dengan krisis nilai tukar dan kemudian membawa krisis hutang luar
negeri, telah membuka mata semua pemerhati ekonomi bahwa "fundamental
ekonomi" yang semula diyakini kesahihannya, ternyata hancur lebur. Para pengusaha
besar konglomerat dan industri manufaktur yang selama ini diagung-agungkan
membawa pertumbuhan ekonomi yang pesat pada rata-rata 7% pertahun, ternyata
hanya merupakan wacana. Sebab, ternyata kebesaran mereka hanya ditopang oleh
hutang luar negeri sebagai hasil perkoncoan dan praktik mark-up ekuitas, dan tidak
karena variabel endogenous (yang tumbuh dari dalam) (Manurung, 2000).
Setelah dicanangkan oleh pendiri negara kita, bahwa koperasi merupakan
lembaga ekonomi yang cocok dengan spirit masyarakatnya, yaitu azas kekeluargaan.
Bahkan disebutkan oleh Hadhikusuma (2000). Kekeluargaan adalah azas yang
memang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia dan telah berurat akar
dalam jiwa bangsa Indonesia. Namun sampai saat ini dalam kenyataannya peran
koperasi untuk berkontribusi dalam perekonomian Indonesia belum mencapai taraf
signifikan. Banyaknya masalah yang menghambat perkembangan koperasi di
Indonesia menjadi problematik yang secara umum masih dihadapi.
Pencapaian misi mulia koperasi pada umumnya masih jauh dan idealisme
semula. Koperasi yang seharusnya mempunyai amanah luhur, yaitu membantu
pemerintah untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial, belum dapat menjalani
peranannya secara maksimal. Membangun koperasi menuju kepada peranan dan
kedudukannya yang diharapkan merupakan hai yang sangat sulit, walau bukan
merupakan hal yang tidak mungkin.
OIeh karena itu, tulisan ini tetap pada satu titik keyakinan, bahwa seburuk
apapun keadaan koperasi saat mi, kalau semua komponen bergerak bersama, tentunya
ada titik terang yang diharapkan muncul. Juga diharapkan mampu menjadi pencerahan
bagi kita semua, tentang bagaimana koperasi dikembalikan kepada cita-cita para
pendiri bangsa mi, menjadikan kegiatan ekonomi menjadi milik semua rakyat. Dengan
demikian, kesenjangan ekonomi yang merembet pada kesenjangan sosial dan
penyakitpenyakit masyarakat Iainnya dapat dikurangi (Nuhung, 2002).
Citra koperasi di masyarakat saat ini identik dengan badan usaha marginal,
yang hanya bisa hidup bila mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini sebenarnya
tidak sepenuhnya benar, karena banyak.

Referensi jurnal :
http://www.manbisnis2.tripod.com/1_1_1.pdf

Review Jurnal 14

 Nama Kelompok :
 Arya Faizal (21210150)§
 Desy Dwi Jayanti ( 21210864)
§
 Dila Noviyanti (22210015)
§
 Dwi Manggala Septiawan (22210194)
§
 Jhon Philip.S (23210754)
§
 Lita Lestari (24210055)§
 
KELAS : 2EB10


EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL
x[Artikel - Th. I - No. 10 - Desember 2002]
Fredrik Benu
EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT:
SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT
Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural (structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).

________________________________________

Fredrik Benu – Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang
Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 2000, Ekonomi Indonesia Baru, kajian dan alternatif solusi menuju pemulihan, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Asy’arie, Musa. 2001, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta.
Gillis, Malcolm; Perkins, Dwight, H., Roemer Donald R. 1987, Economics of Development, 2nd Ed. W.W.Norton & Companny, New York.
Kleden, Ignas. 2000, Persepsi dan Mispersepsi tentang Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pokok-Pokok pikiran dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, 2002, Laporan disampaikan pada kunjungan Menteri Pertanian Republik Indonesia di Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak dipublikasikan.
Prawirokusumo, Soeharto. 2001, Ekonomi Rakyat, Kosep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, Yogyakarta.
Simanjuntak, Djisman, S. 2000, Ekonomi Pasar Sosial Indonesia, dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta.



REVIEW JURNAL :


1. Pendahuluan
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.


Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.




2. Point-point yang kami ringkas sebagai berikut :
  *Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi.
Ilustrasi yang disampaikan untuk membuka ruang diskusi tentang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha.



 *Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.

 *Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will. Diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider.

 *Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku.

3. Kesimpulan
Dari banyak pendapat mengenai ekonomi rakyat diatas da secara konseptual saya beranggapan bahwa ekonomi rakyat satuan dari sebuh rakyat kecil yang melakukan suatu usaha sedangkan ekonomi kerakyatan lebih mengarah pada suatu kelompok dimasyarakat iru sendiri yang melakukan usaha atau yang lainnya.Semua kegiatan yang menyangkut ekonomi pasti ada hubugannya dengan bagaimana kita mendapatkan pendapatan yang maksimal untuk berlasung di kehidupan,ekonomi pasar contohnya pemerintah mengaitkan ekonomi pasar dengan adanya politik dan lainnya demi berjalannya suatu unit usaha ataupun organisasi.


4. Daftar Pustaka :
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm

Review Jurnal 13

 Nama Kelompok :
 Arya Faizal (21210150)§
 Desy Dwi Jayanti ( 21210864)
§
 Dila Noviyanti (22210015)
§
 Dwi Manggala Septiawan (22210194)
§
 Jhon Philip.S (23210754)
§
 Lita Lestari (24210055)§
 
KELAS : 2EB10

PERANAN KOPERASI DI PASAR PERSAINGAN SEMPURNA
Koperasi dalam Pasar Persaingan Sempurna :
Suatu pasar disebut bersaing sempurna jika terdapat banyak penjual dan pembeli sehingga tidak ada satu pun dari mereka dapat mempengaruhi harga yang berlaku; barang dan jasa yang dijual di pasar adalah homogen; terdapat mobilitas sumber daya yang sempurna; setiap produsen maupun konsumen mempunyai kebebasan untuk keluar-masuk pasar; setiap produsen maupun konsumen mempunyai informasi yang sempurna tentang keadaan pasar meliputi perubahan harga, kuantitas dan kualitas barang dan informasi lainnya; tidak ada biaya atau manfaat eksternal berhubungan dengan barang dan jasa yang dijual di pasar.
Perusahaan-perusahaan dalam pasar persaingan sempurna bersifat “penerima harga” (price taker). Kurva permintaan yang dihadapi sebuah perusahaan dalam pasar persaingan sempurna merupakan sebuah garis horizontal pada tingkat harga yang berlaku di pasar.
Kuantitas output ditentukan berdasarkan harga pasar dan tujuan memaksimumkan laba, yaitu pada saat MR = MC.
Dalam jangka waktu yang sangat pendek, kurva penawaran pasar berbentuk garis vertikal sehingga harga ditentukan oleh permintaan pasar. Dalam jangka panjang, harga dapat naik, tetap atau turun tergantung pada perubahan permintaan komoditi yang bersangkutan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Jenis pasar persaingan sempurna terjadi ketika jumlah produsen sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah konsumen yang banyak. Contoh produknya adalah seperti beras, gandum, batubara, kentang, dan lain-lain.



PERANAN KOPERASI DI PASAR MONOPILISTIK

Koperasi dalam pasar monopolistik.
Pasar Monopolistik adalah salah satu bentuk pasar di mana terdapat banyak produsen yang menghasilkan barang serupa tetapi memiliki perbedaan dalam beberapa aspek. Penjual pada pasar monopolistik tidak terbatas, namun setiap produk yang dihasilkan pasti memiliki karakter tersendiri yang membedakannya dengan produk lainnya. Contohnya adalah : shampoo, pasta gigi, dll. Meskipun fungsi semua shampoo sama yakni untuk membersihkan rambut, tetapi setiap produk yang dihasilkan produsen yang berbeda memiliki ciri khusus, misalnya perbedaan aroma, perbedaan warna, kemasan, dan lain-lain.

Pada pasar monopolistik, produsen memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga walaupun pengaruhnya tidak sebesar produsen dari pasar monopoli atau oligopoli. Kemampuan ini berasal dari sifat barang yang dihasilkan. Karena perbedaan dan ciri khas dari suatu barang, konsumen tidak akan mudah berpindah ke merek lain, dan tetap memilih merek tersebut walau produsen menaikkan harga. Misalnya, pasar sepeda motor di Indonesia.

Ciri-ciri dari pasar monopolistic adalah:
Terdapat banyak penjual/produsen yang berkecimpung di pasar.
2)Barang yang diperjual-belikan merupakan differentiated product.
3)Para penjual memiliki kekuatan Pasar Oligopoli.
 Penjual atau pengusaha dari suatu produk adalah banyak, serta jenis
ð produk yang beragam.Misalnya produk rokok, rokok diproduksi oleh banyak pengusaha, dan setiap pengusaha satu sama lain bersaing secara tidak sempurna.
Produk yang ditawarkan tidak sama dalam segala hal. Akibatnya penentuan pembelian oleh konsumen tergantung kepada siapa yang menjual produk tersebut. Disini, perusahaan-perusahaan terpacu untuk terikat dalam persaingan non-harga, misalnya melalui periklanan dan tipe lain dari promosi, karena produk yang dihasilkan tidak sejenis dan para pembeli atau konsumen tidak mengetahuinya.
 Ada produk substitusinya.
ð
Dapat digantikan penggunaannya secara sempurna oleh produk lain. Ada produk lain yang serupa yang dapat memberikan kepuasan yang sama.
ð Keluar atau masuk ke industri relative mudah.
ð Harga produk tidak sama di semua pasar.
Tetapi berbeda-beda sesuai dengan keinginan penjual, karena penjual atau pengusaha dalam pasar ini adalah banyak sehingga konsumen yang harus menyesuaikan dalam hal “harga”.
ð Pengusaha dan konsumen produk tertentu sama-sama bersaing.
Tetapi persaingan tersebut tidak sempurna, karena produk yang dihasilkan tidak sama dalam banyak hal. Produk pengusaha yang mana yang akan menduduki tempat monopolistic, ditentukan oleh konsumen produk tersebut dan bukan pengusahanya.
Untuk menentukan bentuk pasar dari suatu produk perusahaan, sangat tergantung kepada pembedaan (diferensiasi) produk yang dihasilkan perusahaan tersebut dengan produk pengganti yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Semakin kecil/sedikit perbedaannya, maka lebih cenderung ke pasar persaingan sempurna. Sebaliknya, semakin jauh jarak perbedaannya maka semakin cenderung ke arah bentuk pasar monopoli.
Oleh karena itu, apabila koperasi ingin memaksimumkan keuntungannya dalam struktur pasar monopolistic, maka secara teoritis, koperasi harus mampu menghasilkan produk yang sangat berbeda dengan yang dihasilkan oleh pengusaha lain. Tentu strategi dan taktik bisnis dalam promosi, sedikit banyak sangat menentukan perbedaan tersebut.
Koperasi Dalam Pasar Monopsoni.
Monopsoni adalah keadaan dimana satu pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar.

komoditas.Kondisi Monopsoni sering terjadi didaerah-daerah Perkebunan dan industri hewan potong (ayam), sehingga posisi tawar menawar dalam harga bagi petani adalah nonsen. Salah satu contoh monopsoni juga adalah penjualan perangkat kereta api di Indonesia. Perusahaan Kereta Api di Indonesia hanya ada satu yakni KAI, oleh karena itu, semua hasil produksi hanya akan dibeli oleh KAI.

Apabila seorang pengusaha membeli suatu factor produksi secara bersaing sempurna dengan pengusaha lain,maka ia secara perorangan tidak bisa mempengaruhi harga dari factor produksi itu. Misalkan penawaran dari suatu factor produksi x ditunjukkan oleh fungsi dibawah ini:
 X = f.(Hx)
ð
Dimana x = jumlah factor produksi yang ditawarkan, Hx = harga dari faktor produksi itu,sedang f = fungsi.

Bagi pengusaha tadi yang bertujuan mencapai keuntungan maksimum,berlakulah syarat dibawah ini :
 Y = f(x)
ð
Maka agar mencapai maksimum,berlaku juga syarat dibawah ini :
 dП/dx = Hy.dY/dX – Hx = 0
ð
Hy. dY/dX = Hx
Hy. dY/dX adalah nilai produk marjinal ditinjau dari factor poduksi x yang dipakai.

Apabila harga produksi X itu adalah H1 maka pengusaha akan membeli dan mempergunakan factor produksi tersebut sejumlah X1. kalau factor harga naik menjadi H2 maka jumlah yang dibeli dan dipakai adalah X2. dan sebaliknya,apabila harga turun menjadi H3 maka jumlah yang dibeli dan dipakai adalah X2. dan sebaliknya apabila harga turun menjadi H3 maka jumlah yang dibeli dan dipakai X3, dalam semua keadaan itu,nilai produk marjinal dari factor x sama dengan harga factor itu.

Bagaimana keadaan apabila pengusaha merupakan pembeli tunggal dari factor produksi tsbt. Dengan kata lain,pengusaha tsbt merupakan pengusaha monopsoni?? Pengusaha monopsoni itu sekarang menghapi kurva penawaran dari factor produksi yang akan dibeli. Pada umumnya kurva penwaran ini bersudut positif.



Bagi pengusaha monopsoni berlaku syarat sebagai brkut apabila bertujuan mencapai keuntungan yang maksimum.

Koperasi Dalam Pasar Monopsoni.
Monopsoni adalah keadaan dimana satu pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar.

komoditas.Kondisi Monopsoni sering terjadi didaerah-daerah Perkebunan dan industri hewan potong (ayam), sehingga posisi tawar menawar dalam harga bagi petani adalah nonsen. Salah satu contoh monopsoni juga adalah penjualan perangkat kereta api di Indonesia. Perusahaan Kereta Api di Indonesia hanya ada satu yakni KAI, oleh karena itu, semua hasil produksi hanya akan dibeli oleh KAI.

Apabila seorang pengusaha membeli suatu factor produksi secara bersaing sempurna dengan pengusaha lain,maka ia secara perorangan tidak bisa mempengaruhi harga dari factor produksi itu.

Misalkan penawaran dari suatu factor produksi x ditunjukkan oleh fungsi dibawah ini:

X = f.(Hx)
Dimana x = jumlah factor produksi yang ditawarkan, Hx = harga dari faktor produksi itu,sedang f = fungsi.

Bagi pengusaha tadi yang bertujuan mencapai keuntungan maksimum,berlakulah syarat dibawah ini :

Y = f(x)
Maka agar mencapai maksimum,berlaku juga syarat dibawah ini :


dП/dx = Hy.dY/dX – Hx = 0
Hy. dY/dX = Hx
Hy. dY/dX adalah nilai produk marjinal ditinjau dari factor poduksi x yang dipakai.

Apabila harga produksi X itu adalah H1 maka pengusaha akan membeli dan mempergunakan factor produksi tersebut sejumlah X1. kalau factor harga naik menjadi H2 maka jumlah yang dibeli dan dipakai adalah X2. dan sebaliknya,apabila harga turun menjadi H3 maka jumlah yang dibeli dan dipakai adalah X2. dan sebaliknya apabila harga turun menjadi H3 maka jumlah yang dibeli dan dipakai X3, dalam semua keadaan itu,nilai produk marjinal dari factor x sama dengan harga factor itu.

Bagaimana keadaan apabila pengusaha merupakan pembeli tunggal dari factor produksi tsbt. Dengan kata lain,pengusaha tsbt merupakan pengusaha monopsoni?? Pengusaha monopsoni itu sekarang menghapi kurva penawaran dari factor produksi yang akan dibeli. Pada umumnya kurva penwaran ini bersudut positif.

Bagi pengusaha monopsoni berlaku syarat sebagai brkut apabila bertujuan mencapai keuntungan yang maksimum.

П = Hy.Y – X.Hx

Tambahan:
Monopsoni adalah kebalikan dari monopoli, yaitu di mana hanya terdapat satu pembeli saja yang membeli produk yang dihasilkan.


PERANAN KOPERASI (Pasar Oligopoli)
Koperasi Dalam Pasar Oligopoli.
Pasar oligopoli adalah pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.
Dalam pasar oligopoli, setiap perusahaan memposisikan dirinya sebagai bagian yang terikat dengan permainan pasar, di mana keuntungan yang mereka dapatkan tergantung dari tindak-tanduk pesaing mereka. Sehingga semua usaha promosi, iklan, pengenalan produk baru, perubahan harga, dan sebagainya dilakukan dengan tujuan untuk menjauhkan konsumen dari pesaing mereka.
Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk kedalam pasar, dan juga perusahaan-perusahaan melakukan oligopoli sebagai salah satu usaha untuk menikmati laba normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas, sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada.
Struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki capital intensive yang tinggi, seperti, industri semen, industri mobil, dan industri kertas.
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999, oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan reaksi,
khususnya pada barang-barang yang bersifat homogen atau identik dengan kartel, sehingga ketentuan yang mengatur mengenai oligopoli ini sebagiknya digabung dengan ketentuan yang mengatur mengenai kartel.
Jenis-jenis pasar Oligopoli:
1. Pasar oligopoly murni.
Barang yang diperdagangkan sama fisiknya (identik), hanya berbeda merknya saja.
2. Pasar oligopoly dengan pembedaan (differentiated oligopoly).
Barang yang diperdagangkan dapat dibedakan. Perusahaan mengeluarkan beberapa produk untuk piihan konsumen.



REVIEW JURNAL

Suatu pasar disebut bersaing sempurna jika terdapat banyak penjual dan pembeli sehingga tidak ada satu pun dari mereka dapat mempengaruhi harga yang berlaku; barang dan jasa yang dijual di pasar adalah homogen; terdapat mobilitas sumber daya yang sempurna; setiap produsen maupun konsumen mempunyai kebebasan untuk keluar-masuk pasar; setiap produsen maupun konsumen mempunyai informasi yang sempurna tentang keadaan pasar meliputi perubahan harga, kuantitas dan kualitas barang dan informasi lainnya; tidak ada biaya atau manfaat eksternal berhubungan dengan barang dan jasa yang dijual di pasar.
Dalam jangka waktu yang sangat pendek, kurva penawaran pasar berbentuk garis vertikal sehingga harga ditentukan oleh permintaan pasar. Dalam jangka panjang, harga dapat naik, tetap atau turun tergantung pada perubahan permintaan komoditi yang bersangkutan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Jenis pasar persaingan sempurna terjadi ketika jumlah produsen sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah konsumen yang banyak.
Karena perbedaan dan ciri khas dari suatu barang, konsumen tidak akan mudah berpindah ke merek lain, dan tetap memilih merek tersebut walau produsen menaikkan harga. Misalnya, pasar sepeda motor di Indonesia.
Untuk menentukan bentuk pasar dari suatu produk perusahaan, sangat tergantung kepada pembedaan (diferensiasi) produk yang dihasilkan perusahaan tersebut dengan produk pengganti yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Semakin kecil/sedikit perbedaannya, maka lebih cenderung ke pasar persaingan sempurna. Sebaliknya, semakin jauh jarak perbedaannya maka semakin cenderung ke arah bentuk pasar monopoli.
Oleh karena itu, apabila koperasi ingin memaksimumkan keuntungannya dalam struktur pasar monopolistic, maka secara teoritis, koperasi harus mampu menghasilkan produk yang sangat berbeda dengan yang dihasilkan oleh pengusaha lain. Tentu strategi dan taktik bisnis dalam promosi, sedikit banyak sangat menentukan perbedaan tersebut.





Daftar Pustaka:
http://www.dantelaruku.blogspot.com
http://ocacicuceco.blogspot.com/2010/12/peranan-koperasi-di-pasar-persaingan.html
http://ocacicuceco.blogspot.com/2010/12/peranan-koperasi-di-pasar-monopilistik.html
http://dantelaruku.blogspot.com/2010/01/bab-9-peranan-koperasi-di-berbagai.htm
http://dantelaruku.blogspot.com/2010/01/bab-9-peranan-koperasi-di-berbagai.html