Sabtu, 24 November 2012

Perbankan bantah lakukan inefisiensi (BI-01-SS-12)


Sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan “inefisiensi” di sini? Kalau tak salah sih, jika merujuk pada pengertian secara ekonomi, kata itu ya merupakan kebalikan dari efisiensi. Secara garis besar, efisiensi itu sendiri bisa diartikan pemaksimalan serta pemanfaatan seluruh sumber daya dalam proses produksi barang dan jasa.

JAKARTA: Sejumlah bankir menilai tingginya rata-rata marjin bunga bersih perbankan nasional tidak berarti perbankan telah melakukan inefisiensi dalam beroperasi.
Direktur Utama PT Bank CIMB Niaga Tbk Arwin Rasyid mengatakan tingkat inefiensi perbankan nasional hingga saat ini masih wajar karena cost to income ratio (perbandingan biaya dan pendapatan) bank dalam negeri sama dengan bank di luar negeri, yakni di bawah 50%.

"Inefisiensi sebenarnya dilihat dari cost to income ratio dan perbankan nasional rata-rata cost to income rationya dibawah 50%, ini juga sebanding dengan bank-bank luar negeri. Jadi kalau saya bilang itu normal-normal saja," jelas Arwin, akhir pekan lalu.

Dia menuturkan tingginya marjin bunga bersih (net interest margin/NIM) perbankan nasional memang sulit dihindari. Salah satu penyebab tingginya NIM adalah selisih antara bunga pinjaman dan deposito tinggi karena dipengaruhi tingkat inflasi dan premi risiko.

"Selisih bunga yang tinggi itu disebabkan karena dua hal, yakni satu inflasi di Indonesia lebih tinggi dari negara lain. Kedua risk premium [premi risiko] di Indonesia juga lebih tinggi," jelas dia.

Meski demikian, dia percaya tingkat NIM akan menurun seiring persaingan antar bank-bank di Indonesia. NIM, tambahnya lagi, akan turun dengan sendirinya melalui proses persaingan di pasar.

Sementara itu Wakil Direktur Utama PT Bank Danamon Indonesia Tbk Jos Luhukay mengatakan kalangan perbankan tidak bisa diperintahkan begitu saja untuk menurunkan NIM. Dia mengatakan akan mencari cara mengatasi semua masalah itu.


Referensi:

Green Economy Mampu Tekan Angka Kemiskinan (BI-01-SS-12)

Ekonomi hijau adalah salah satu yang menghasilkan kesejahteraan dan perbaikan manusia keadilan sosial , sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi. Ekonomi hijau adalah ekonomi atau pembangunan ekonomi model yang didasarkan pada pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan tentang ekonomi ekologi.

Indonesia sebagai negara berkembang juga bisa menerapkan green economy, namun masih menemui beberapa kendala.

Transisi sistem ekonomi negara-negara di dunia ke sistem green economy bisa mengangkat 1,3 miliar orang dari jurang kemiskinan. Namun, bukan hanya tema "hijau" yang diterapkan. Tapi juga didukung dengan kebijakan yang kuat serta kerja sama investasi publik dengan swasta.

Demikian hasil paparan laporan Building an Inclusive Green Economy for All yang dirilis Poverty-Environment Partnership (PEP), Kamis (14/6). PEP merupakan agensi kerjasama antara agensi PBB, bank pembangunan, dan LSM-LSM internasional. Hasil laporan ini jadi salah satu pendahuluan jelang Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20 pada 20-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil.

Laporan tersebut menyebutkan, jika gerakan green economy di negara-negara berkembang punya potensi meningkatkan "tiga garis terbawah." Yakni menciptakan perkembangan ekonomi, lingkungan yang berkelanjutan, dan keterlibatan sosial.
Indonesia sebagai negara berkembang juga bisa menerapkan green economy. Namun, menurut Akhmad Fauzi, Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, ada beberapa kendala yang dihadapi bangsa Indonesia.

Dalam pemaparannya berjudul "Green Economy: Kebijakan dan Prakteknya di Indonesia" disebutkan kendala itu antara lain; bagaimana meminimalisir jajaran birokrasi untuk memudahkan investasi hijau, memulihkan hukum dan peraturan yang konflik satu sama lain, serta dukungan dana. Selain itu perlu ditingkatkan kesadaran lingkungan di komunitas

Referensi:

PENERAPAN IFRS DI INDONESIA (BI-01-SS-12)


IFRS (Internasional Financial Accounting Standard) adalah suatu upaya untuk memperkuat arsitektur keungan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan. Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan keungan interim perusahaan untuk periode-periode yang dimaksukan dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi yang: (1). Menghasilkan transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan., (2). menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS., (3). dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna.

Saat ini standar akuntansi keuangan nasional sedang dalam proses konvergensi secara penuh dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh IASB (International Accounting Standards Board. Oleh karena itu, arah penyusunan dan pengembangan standar akuntansi keuangan ke depan akan selalu mengacu pada standar akuntansi internasional (IFRS) tersebut.
 
Meskipun penerapan IFRSs dapat memberikan manfaat bagi iklim investasi di Indonesia. Akan tetapi terdapat beberapa kendala yang dapat menghalangi/mempengaruhi penerapan IFRS di Indonesia. Menurut Perera dan Baydoun (2007) ada 4 aspek yang dapat menjadi kendala penerapan IFRS di Indonesia. Lima Aspek Tersebut adalah (1) aspek lingkungan sosial; (2) aspek lingkungan organisasi; (3) Aspek lingkungan Profesi; dan (4) Aspek lingkungan individu. 

  1. Aspek Lingkungan Sosial
Indonesia sebagai negara yang memiliki nilai budaya yang berbeda dengan nilai budaya asal IFRSs dapat mempengaruhi proses pelaksanaan penerapan IFRSs di Indonesia. IFRSs yang dikembangkan di negara Anglo-Saxon yang cenderung memiliki nilai budaya indivilualisme yang tinggi dan jarak kekuasaan (power distance) yang rendah dapat terkendala penerapannya di Indonesia yang memiliki nilai budaya berkelompok yang tinggi dan jarak kekuasaan yang juga tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat profesionalisme akuntan. Selain itu penegakan aturan (i.e. penerapan IFRS bagi perusahaan-perusaahn di Indonesia) juga diragukan. ini dikarenakan nilai budaya rakyat Indonesia yang cenderung melihat seseorang dengan pangkat lebih tinggi juga memiliki kekuasaan yang lebih tinggi sehingga dapat menjadi sumber penyelewengan. 

     2.       Aspek Lingkungan organisasi

Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya mendanai kegiatan usaha mereka dengan menggunakan pinjaman dari bank. Pendanaan perusahaan melalui pasar modal saat ini masih cenderung minim.  Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa hanya 442 perusahaan yang terdaftar di BEI sedangkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2009 mengestimasi perusahaan di Indonesia sebanyak 25.077 perusahaan. Keadaan ini dapat menjadi kendala untuk penerapan IFRSs karena kecenderungan pembiayaan perusahaan masih kepada sektor perbankan. Bank normalnya dapat memiliki akses langsung ke informasi keuangan perusahaan sebagai penyedia dana utama. Hal ini mengakibatkan perusahaan belum merasa butuh untuk menerapkan standar keuangan internasional yang telah terkonvergensi dalam PSAK. Dapat diasumsikan bahwa perusahaan menganggap manfaat dari penggunaan IFRS lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan untuk mengadopsi standar tersebut. 
      
     3.      Aspek Lingkungan Profesi

Penerapan IFRS di Indonesia seharusnya dibarengi dengan penataan dan penyediaan sumber daya manusia sebagi motor pelaksanaan standard tersebut. Profesi akuntan di Indonesia memiliki 4 kategori keanggotaan :
  1. Register A: anggota dengan gelar akuntan yang juga telah berpraktek selama beberapa tahun atau menjalankan usaha praktek akuntansi pribadi atau kepala dari kantor akuntansi pemerintah;
  2. Register B: akuntan public asing yang telah diterima oleh pemerintah Indonesia dan telah berpraktek untuk beberapa tahun;
  3. Register C: akuntan internal asing yang bekerja di Indonesia;
  4. Register D: akuntan yang baru lulus dari fakultas ekonomi jurusan akuntansi atau memegang sertifikat yang telah dievaluasi oleh komite ahli dan dipertimbangkan setara dengan gelar akuntansi dari universitas negeri. (Yunus, 1990 dalam Perera dan Baydoun, 2007, p.213)
Kebanyakan dari akuntan yang ada di Indonesia adalah akuntan dengan kategori D, sehingga sumber daya manusia untuk melaksanakan standard akuntansi secara memadai masih kurang. 

     4.      Aspek Lingkungan Individu

Nilai budaya masyarakat Indonesia yang kental dengan kolektivisme dan cenderung memiliki jarak kekuasaan yang tinggi dapat berpengaruh terhadap lemahnya pengembangan dan penerapan IFRSs di Indonesia. Para professional dikuatirkan bersikap pasif terhadap draft-draft eksposur karena menganggap tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan standard (sebagai efek dari tingginya jarak kekuasaan).

Referensi:
http://indypuspita.blogspot.com/2011/05/penerapan-ifrs-di-indonesia.html

KETERAMPILAN YANG DIBUTUHKAN SEORANG AKUNTAN (BI-01-SS-12)


Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan juga pasti mempunyai “hardskill” dan “softskill”.

Hardskill adalah kemampuan yang dapat menghasilkan sesuatu yang sifatnya visible dan immediate. Hardskill adalah semua hal yang berhubungan dengan pengayaan teori yang menjadi dasar pijakan analisis atau sebuah keputusan (Fachrunnisa, 2006). Sedangkan softskill adalah hal yang bersifat halus dan meliputi keterampilan psikologis, emosional dan spiritual. Tidak ada kesepakatan tunggal tentang makna softskill. Softskill adalah sebuah istilah dalam sosiologi tentang EQ (Emotional Intellegence Quotient) seseorang, yang dapat dikatagorikan menjadi kehidupan social, komunikasi, bertutur bahasa, kebiasaan, keramahn, optimasi.

Beberapa softskill yang dibutuhkan seorang Akuntan dalam melaksanakan profesinya, yaitu sebagai berikut:

a)      Jujur
Seorang akuntan harus jujur dalam membuat laporan keuangan, tidak boleh memanipulasi angka sedangkan auditor harus memberikan keputusan yang benar.
b)      Disiplin
Akuntan dan Auditor harus melaporkan dan memberikan keputusan tepat pada waktunya sesuai dengan periode yang berlaku.
c)      Bertanggung Jawab
Mampu mempertanggungjawabkan atas laporan keuangan yang sudah dibuat dan bertanggung jawab atas keputusan yang diberikan.
d)     Ramah
Bersikap ramah kepada sesama akuntan maupun auditor serta klien mereka. Dengan keramahannya, klien akan merasa lebih comfort dalam bekerjasama dengannya.
e)      Sopan
Selain ramah, seorang akuntan dan auditor juga harus memiliki sifat sopan agar terjalin kerjasama yang baik.
f)       Cepat beradaptasi
Adaptasi diperlukan untuk mempermudah mereka dalam pengerjaan tugasnya. Adaptasi yang baik akan menghasilkan pekerjaan yang maksimal.
g)      Hardworker
Laporan keuangan akan selesai dibuat dan diputuskan dengan tepat waktu apabila akuntan dan auditornya mau bekerja keras dalam penyelesaian ugas mereka masing-masing.
h)      Teliti
Akuntan harus teliti dalam menginput angka sesuai dengan transaksi yang sudah dilakukan, sedangkan auditor harus teliti dalam mengoreksi angka yang sudah dibuat oleh akuntan.
i)        Cerdas
Akuntan harus mampu memahami sepenuhnya prinsip dan aturan yang mendasari penyiapan infomasi akuntansi, sedangkan auditor harus cerdas daam mencari bukti-bukti untuk membantunya dalam mengaudit laporan keuangan.sehingga dihasikan keputusan yang tepat.
j)        Peka
Akuntan dan Auditor harus peka terhadap lingkungan sekitar, walaupun daam melakukan pekerjaan dibutuhkan konsentrasi yang tinggi.
k)      Empati
Akuntan dan auditor memiliki kemampuan memahami, merasakan, peduli, hangat, akrab dan kekeluargaan dengan lingkungan sekitar tempat mereka bekerja.
l)        Perhatian
Hampir sama dengan empati, sifat perhatian juga harus dimiliki oleh Akuntan dan Auditor dalam bekerja.
m)    Teamwork
Dengan kerjasama yang baik, pekerjaan yang dilakukan akan sesuai dengan apa yang diharapkan bahkan bisa selesai dengan tepat waktu.
n)      Leadership
Selain sifat-sifat diatas, sifat selanjutnya yang harus dimiliki oleh seorang Akuntandan Auditor adalah mampu menjadi seorang pemimpin dalam organisasinya. Hal ini diperlukan untuk mencapai tujuan yang sama diantara sesame Akuntan dan Auditor.
o)      Loyalitas
Akuntan dan Auditor harus loyal terhadap pekerjaannya agar apa yg dihasilkan menjadi yang terbaik.
p)      Komunikasi
Akuntan harus berkomunikasi dengan sesama akuntan agar dalam proses pembuatan laporan keuangan menjadi lebih mudah sedangkan auditor memerlukan komunikasi yang baik dalam penyampaian keputusan yang diambil kepada kliennya.
q)      Critical Observation
Harus mampu mengamati suatu masalah yang terjadi dalam pelaporan dan pengambilan keputusan secara kritis.
r)       Problem Solving
Mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam proses pelaporan dan pengambilan keputusan.
s)       Complication
Mampu mengatasi kesulitan yang terjadi dalam membuat laporan keuangan dan mengambil keputusan.

Referensi:

http://repository.upi.edu/operator/upload/d_pu_1009675_chapter2.pdf