Seperti yang sudah dijelaskan pada
artikel sebelumnya, pembubaran BPMIGAS diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi,
menurutnya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menjadi
dasar pendirian BPMIGAS ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
hukum mengikat.
Selain itu, Pengamat perminyakan
Kurtubi menjelaskan, langkah pembubaran BP Migas oleh MK ini dinilai sangat
tepat. Sebab, BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.
“Pertentangan dengan konstitusi itu disebabkan oleh tata kelola BP Migas tidak
bisa digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itu tidak sesuai
dengan UUD 1945 Pasal 33.
Dalam UU BP Migas semua keinginan
dari Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat terpenuhi. Terlebih lagi, BP Migas dinilai
lebih memihak ke asing. Contohnya saja, hasil gas dari LNG Tangguh yang justru
tidak dialokasikan ke dalam negeri. BP Migas malah menjual gas tersebut secara
murah ke China.
Disisi lain, terdapat tiga alasan
yang mendasari bubarnya lembaga pengawas dan pembina pengolahan minyak ini.
Adapun alasan ini dikemukakan oleh Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Raden Priyono.
Pertama, Pertamina tidak pernah ikhlas untuk melepas BP Migas.
Pertamina tetap ingin menguasai BP Migas seperti era 1970-an lalu. “Ini semacam
ada pertarungan dengan Pertamina karena Pertamina tidak pernah ikhlas melepas
Pertamina,” jelasnya.
Wewenang BP Migas memang pernah
diserahkan ke Pertamina, khususnya pada 1970-an. Saat itu, Pertamina memang
punya pengalaman pernah mengontrol produksi industri hulu migas hingga 1,6 juta
barrel. Dengan wewenang BP Migas dikembalikan ke Pertamina, Pertamina akan
dianggap sebagai wasit sekaligus pemain di sektor migas. “Dengan menjadi pemain
sekaligus wasit, maka Pertamina bebas bermain dan mengawasi sendiri. Beda kalau
ada BP Migas, Pertamina menjadi tidak nyaman,” tambahnya.
Bahkan, Pertamina sempat hanya
memproduksi sekitar 40.000-50.000 barrel bahan bakar minyak saja. Padahal,
minyak tersebut harus didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Otomatis,
karena Pertamina saat itu menjadi pemain sekaligus wasit, maka tidak ada yang
berani menggugat wewenang perusahaan minyak pelat merah tersebut.
Kedua, untuk mengamankan posisi di 2014. Sekadar catatan, selama
menjadi lembaga pemerintah non-BUMN, BP Migas dinilai berkuasa untuk mengatur
dan mendistribusikan minyak dan gas bumi di Tanah Air. Kewenangannya langsung
berada di bawah Presiden.
Dalam hal perputaran uang
(cashflow), BP Migas dinilai lebih cepat dan besar nilai perputaran uangnya.
Priyono mencatat bisa mencapai Rp 1 triliun per hari. “Kita kan rata-rata bisa
menyetor ke negara di atas Rp 300 triliun per tahun. Jadi, per harinya bisa
mencapai Rp 1 triliun,” jelasnya.
Bahkan untuk menyetor ke kas
Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), Priyono mengaku lembaganya mampu
menyetor 30 persen dari total APBN per tahun.
Ketiga, pertarungan antara yang ingin meningkatkan produksi dan
pihak yang memang tidak ingin produksi minyak naik. “Importir minyak. Itu kan
alamiah sekali,” ucap Priyono.
Dikatakannya, kalau produksi minyak
Indonesia naik, tentunya bisnis importir bakal berkurang. “Itu kan enak, bisnis
minyak itu tidak usah investasi. Itu trading kok. Lain dengan KPS yang harus
investasi dulu, lima tahun baru balik,” tegas Priyono.
Alasan-alasan pembubaran BPMIGAS
diatas sangat bertolak belakang, karena dikemukakan oleh dua belah pihak yang
mendukung dan tidak mendukung pembubaran BPMIGAS ini. Namun demikian, kita
sebagai masyarkat biasa tentu menginginkan hal yang terbaik dari pembubaran
ini.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar